Saturday, September 24, 2011

Menutup Jalan Umum.

Untuk menuju rumah saya, jalan terdekat dari jalan raya harus melewati jalan pintas ( bisa 2 mobil) rumah-rumah veteran Kodam ex pejuang Seroja. Meski bukan lagi termasuk kompleks kodam dan tak semua pemilik rumah itu sekarang adalah para veteran itu, karena sudah berpindah kepemilikan, ada yang di jual dan ada juga veteran yang sudah wafat dan diisi anak atau cucunya.

Masalahnya, jalan sepanjang kurang lebih 200 meter di situ seakan hanya milik sekelompok veteran itu saja. Mulai dari jumlah polisi tidur yang lebih dari 10 dengan antar jarak yang saling berdekatan, juga tingginya yang lebih dari tinggi standar polisi tidur ( standanya kemiringan adalah 15% dan tinggi maksimum tidak lebih dari 150 mm.)
Jumlah polisi tidur dari Jl. Raya ke rumah saya, jumlahnyay 17.. bisa dibayangkan sehari saya 2x17 kali melewati polisi tidur, gimana gak bikin cepet rusak sockbreker ( bener gak tulisannya gini ?)

Selain masalah polisi tidur, ada lagi yang sering bikin saya bete lewat jalan ini. Capek-capek pulang kerja, pengen cepat sampai rumah, pas mau masuk jalan kompleks ehhh.jalan di tutup. Mending kalau ada hajatan atau ada bendera kuning di depan jalan, ini kadang cuma selametan atau tahlilanpun mereka nutup jalan. Gak  tanggung-tanggung, nutup jalannya bukan cuma 1-2 jam, tapi bisa sampai 3-4 hari. Bisa dibayangkan betapa menyebalkannya.
Kejadiannya kira-kira 50 hari yang lalu deh, ada salah seorang warga yang meninggal hari kamis. Janan di tutup mulai hari jumat pagi ketika saya mau berangkat kerja. Terpaksa putar arah dan lebih jauh tentunya. Malamnya karena saya yakin jalanan masih di tutup, saya langsung lewat jalan lain.


Hari sabtu, dari pangkalan ojek saya tahu jalan masih di tutup, tukang ojek banyak yang cuma duduk-duduk saja, penghasilannya jelas berkurang karena jalan di tutup.
Hari minggu, saya mau ke pasar, jalanan masih juga di tutup.
Hari Senin, saya mau berangkat kerja, eh jalanan masih juga di tutup.
Bingung saya, ini yang meninggal jendral siapa ya ? koq begitu lama menutup jalan umum seenaknya.
Jadi bertanya juga, apakah untuk nutup jalan perlu ijin ke keluarahan ? kalau iya ijin ke kelurahan, koq ya di kasih aja begitu lama menutup jalan umum untuk keperluan pribadi.

Tapi akhirnya saya ikut maklum, tetangga2 saya yang lebih lama tinggal di sini bilang, ya begitulah orang kompleks itu, jalan itu jalan umum tapi serasa milik mereka sendiri, mereka ngerasa dulu mereka yang buka jalan ini, jadi bebas pakai.

Dan minggu lalu, jalan di tutup lagi untuk sembayangan orang yg meninggal itu juga sabtu minggu, padahal sembayangan itu paling juga beberapa jam. Tapi tenda masih terpasang dan kursi2nya belum di singkirkan, jadi jalanan masih milik mereka.

Boleh kesel gak saya kalau sudah begitu, mati aja koq ya masih nyusahin orang hidup, eh salah..bukan maunya yang meninggal  kan yaaa..


Friday, September 9, 2011

Kuantar Kau Ke Gerbang Pernikahan

Rasa haru selalu menerpa jika saya menghadiri akad nikah ataupun pemberkatan pernikahan, baik itu pernikaha teman apalagi saudara. Itu sebabnya saya lebih suka dan lebih sering menghadiri akad dari pada resepsi.

Begitupun Hari Rabu kemarin, rasa haru sudah mulai terasa sejak calon mempelai wanita berjalan menuju mesjid tempat akad nikah berlangsung. Dibelakang mempelai segera terbayang kenangan 24 tahun lalu ketika gadis berbaju pengantin putih ini lahir kedunia diiringi takbir Iedul Adha berkumandang. Mempelai wanita itu, keponakan saya.. Farieza Iedha Qirana.

Kenapa nikah hari rabu tidak hari libur ? ini bukan karena hitung-hitungan weton, tapi karena memang waktunya sangat mepet. Icha & calon suaiminya cuma dapat libur lebaran itu juga sudah mundur dan cukup lama, padahal mereka harus berangkat lagi ke Manokwari tempat tugas Icha & Rifai hari sabtu malam.
Jika memilih menikah tanggal 4 Sept, pasar-pasar belum banyak yang buka, dan masih banyak kerabat yang pulang kampung.

Meskipun sebelumnya saya sempat kecewa dengan keputusannya menikah cepat, namun saya akhirnya turut berbahagia sejak Icha dilamar sampai hari pernikahannya, inilah puncak bahagia saya selaku Antenya Icha, kebahagiaan yang melebihi bahagia saya saat mendapat kabar Icha diwisuda. Rasanya seperti mengantarkan anak sendiri ke gerbang pernikahannya.

Saat ijab kabul antara Ayah Icha dan Rifai calon suaminya yang berjalan lancar hanya dengan satu kali pengucapan dalam satu helaaan nafas, semua mengucap syukur, alhamdulillah... sah sudah Icha dan Rifai sebagai suami istri,saya punya keponakan baru.


Shalawat badar mengiringi ungkapan bahagia dan selamat kepada Icha dari seluruh keluarga.

                                                             Icha & Aa


Selamat buat Icha & Rifai, semoga kalian berdua menjadi keluarga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah. Smoga Icha jadi Istri dan Ibu yang baik dan setia, begitu juga Rifai, semoga mampu menjadi pembimbing dan imam dalam keluarga barunya.